Minggu, 18 September 2011

PEMBELAJARAN MENULIS SEBAGAI MEDIA PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA

PEMBELAJARAN MENULIS
SEBAGAI MEDIA PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA
oleh Bohri Rahman
Abstract
What is that character? What it is with character education? And how to shape the character? when we are dealing with ourselves as educators,'s more language educators. character is the sum of all the qualities That make you who you are. It's your values, your thoughts, your words, your actions. Meanwhile, character education can be directed toto the 9 ( nine)pillar -crochethooks each, namely :responsibility, respect, fairness, courage ,honesty, citizenship, self-discipline, caring, perseverance. So how about learning to write can be the media the formation of character? Writing is a creative process that can stimulate and develop the attitudes (character) as expected by the nation, with practice writing, students will practice honest with what he thought and he wrote. How students will write mengajarkn justice, how fortitude, self-control, love, positive attitude, hard work, integrity, gratitude and humility.
***
Simak
Baca secara fonetik

Kamus - Lihat kamus yang lebih detail

Menerjemahkan lebih dari 50 bahasa

Lakukan banyak hal dengan Google Terjemahan

Apakah itu karakter? Apa pula dengan pendidikan karakter? Serta bagaimana membentuk karakter? ketika kita berhadapan dengan diri kita sebagai pendidik, Lebih-lebih lagi pendidik Bahasa. Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang. Sementara, pendidikan karakter dapat diarahkan pada  9 (sembilan) pilar yang saling kait-mengait, yaitu: tanggung jawab, menghormati, keadilan, keberanian, kejujuran, kewarganegaraan, disiplin diri, peduli, ketekunan.SimakBaca secara fonetikKamus - Lihat kamus yang lebih detail. Lantas bagaimana pembelajaran menulis dapat menjadi media pembentukan karakter? Menulis, merupakan sebuah proses kreatif yang dapat merangsang dan mengembangkan sikap-sikap (karakter) seperti yang diharapkan oleh bangsa, dengan berlatih menulis, siswa akan berlatih jujur terhadap apa yang ia pikirkan dan ia tuliskan. Menulis akan mengajarkan siswa bagaimna keadilan, bagaimana ketabahan, pengendalian diri, cinta, sikap positif, kerja keras, integritas, syukur dan rendah hati.

I.         Pendahuluan.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini,
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
(WS Rendra, dalam Puisi Sebatang Lisong)
Istilah karakter bukanlah suatu yang baru bagi kita. Ir. Soekarno, salah seorang pendiri Republik Indonesia yang kita cintai ini, telah menyatakan tentang pentingnya “nation and character building” bagi negara yang baru merdeka yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah negara dan bangsa kita melalui masa-masa yang panjang, sampai akhirnya memperingati hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-65, istilah karakter seakan telah hidup kembali, ketika Mendiknas Mohammad Nuh meluncurkan tema penting “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa” pada acara peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei 2010.
Banyak aspek yang perlu kita kaji dan fahami kembali secara mendalam terkait dengan tema tersebut. Apakah itu karakter? Apa pula dengan pendidikan karakter? Serta bagaimana membentuk karakter? ketika kita berhadapan dengan diri kita sebagai pendidik, Lebih-lebih lagi pendidik Bahasa. Tulisan ini akan mencoba menjawab dan menawarkan sebuah alternatif pembentukan karakter siswa melalui pembelajaran menulis.
Sebagai mana kita mengetahui, bahwa menulis atau budaya menulis merupakan budaya sebuah bangsa yang memiliki keperibadian dan berkemajuan, sementara kita ketahui pula, bagaimana kita sangat jauh dari budaya menulis tersebut. Pada kenyataannya, generasi kita lebih banyak membuang-buang waktunya untuk hal-hal yang tidak penting, daripada melakukan apa yang bermanfaat untuk kehidupannya dikemudian hari. Padahal dengan sangat jelas dalam Undang-Undang no. 20 tahun 2003, dinyatakan “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Adanya kata-kata “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak” sebenarnya memberika arah pada pendidikan kita agar siswa memiliki kemampuan dan mengembangkan kemampuan yang diperolehnya dari proses pendidikan yang ditempuhnya. Dengan demikian, dengan adanya kemapuan tersebut maka ia akan memiliki watak atau karakter  yang menunjang dan ditunjang oleh kemampuannya itu.
Dengan kata lain, proses pendidikan kita saat ini kerap kali tidak menyentuh pengembangan kemampuan pembelajar, sehingga apa yang dimiliki sebelum dan sesudah mengalami proses pendidikan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini akan mengakibatkan terganggunya pembentukan watak positif pembelajar dan bahkan bisa memjerumuskan pembelajar pada watak yang negatif, akibat kegagalan dalam menjawab masalah-masalah dalam kehidupan.
II.      Pembelajaran Menulis sebagai Media Pembentukan Karakter Siswa.
A.     Pembelajaran menulis
Berangkat dari fenomena yang kerap kali terjadi di sekolah. Bahwa pembelajaran sering dientengkan oleh guru maupun siswa, tidak terkecuali pembelajaran menulis pada pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Seringkali kita melihat proses pembelajaran hanya sekedar proses mengerjakan lembar kerja siswa, atau mungkin sekadar pemberian tugas mengarang bebas, yang entah, apakah itu dievaluasi atau tidak. Sadarkah kita selama ini, bahwa sesungguhnya pembelajaran menulis sesungguhnya adalah proses yang sangat penting bagi pengembangan kemampuan siswa?
Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperanan terhadap rangkaian kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik. Pengaturan peristiwa pembelajaran dilakukan secara seksama dengan maksud agar terjadi belajar dan membuat berhasil guna. Oleh karena itu, pembelajaran perlu dirancang, ditetapkan tujuannya sebelum dilaksanakan, dan dikendalikan pelaksanaannya (Depdiknas, 2008). Guru adalah manajer di dalam organisasi kelas. Sebagai seorang manajer, aktivitas guru mencakup kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan menilai hasil pembelajaran yang dikelolanya.
Sementara itu, Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menurut Rusyana (1988:191) menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan. Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca (Tarigan, 1984:21). Kedua pendapat tersebut sama-sama mengacu kepada menulis sebagai proses melambangkan bunyi-bunyi ujaran berdasarkan aturan-aturan tertentu. Artinya, segala ide, pikiran, dan gagasan yang ada pada penulis disampaikan dengan cara menggunakan lambang-lambang bahasa yang terpola. Melalui lambang-lambang tersebutlah pembaca dapat memahami apa yang dikomunikasikan penulis.
Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa, menulis berkaitan erat dengan aktivitas berpikir. Keduanya saling melengkapi. Costa (1985:103) seperti yang dikutip http://aldonsamosir.wordpress.com/menulis/. mengemukakan bahwa menulis dan berpikir merupakan dua kegiatan yang dilakukan secara bersama dan berulang-ulang. Tulisan adalah wadah yang sekaligus merupakan hasil pemikiran. Melalui kegiatan menulis, penulis dapat mengkomunikasikan pikirannya. Dan, melalui kegiatan berpikir, penulis dapat meningkatkan kemampuannya dalam menulis.

B.      Karakter dan Gambaran Karakter siswa
Dalam tulisan bertajuk “Urgensi Pendidikan Karakter” di laman resmi Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto, Ph. D menjelaskan bahwa “karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat”. (http:// www. mandikasmen.go.id).  Pengertian ini senada dengan pengertian dari sumber lain yang menyatakan bahwa “character is the sum of all the qualities that make you who you are. It’s your values, your thoughts, your words, your actions” (www.educationplanner.org). Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang.
Dengan demikian, karakter dapat disebut sebagai jatidiri seseorang yang telah terbentuk dalam proses kehidupan oleh sejumlah nilai-nilai etis dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya. Para pakar pendidikan (Aswandi,2010:18) mengelompokkan karakter kedalam sembila pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan ciptaannya; (2) kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran, amanah dan bijaksana; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka menolong dan bergotong-royong; (6) percaya diri, kreatif dan bekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, kedamaian dan kesantunan.
Menurut Thomas Lickona ada 7 (tujuh) unsur-unsur karakter esensial yang harus ditanamkan kepada peserta didik, seperti yang dikutip Suparlan (http://www.suparlan.com)  yaitu: (1) ketulusan hati atau kejujuran (honesty); (2) belas kasih (compassion); (3) kegagahberanian (courage); (4) kasih sayang (kindness); (5) kontrol diri (self-control) (6) kerja sama (cooperation) (7) kerja keras (deligence or hard work). Tujuh karater inti itulah, menurut Thomas Lickona, yang paling penting dan mendasar untuk dikembangan pada peserta didik selain sekian banyak unsur-unsur karakter yang lain. Jika dianalisis dari sudut kepentingan restorasi kehidupan bangsa kita menurut istilah Ir. Sutawi, M. P, maka ketujuh karakter tersebut memang benar-benar menjadi unsur-unsur yang sangat esensial. Katakanlah unsur ketulusan hati atau kejujuran, bangsa saat ini sangat memerlukan kehadiran warga negara yang memiliki tingkat kejujuran yang tinggi. Membudayanya ketidakjujuran merupakan salah satu tanda dari kesepuluh tanda-tanda kehancuran suatu bangsa menurut Lickona.
Lalu, bagaimana dengan karakter manusia Indonesia?  Mochtar Lubis, sebagaimna yang dikutip oleh Aswandi dalam artikel yang berjudul Membangun Bangsa Melalui Pendidikan karakter  menjelaskan karakter manusia Indonesia sebagai berikut. (1) hipokrit atau munafik; (2) enggan bertanggung jawab; (3) mental menerabas, ingin kaya tanpa berusaha, ingin pintar tanpa belajar; (4) feodalistik; (5) masih percaya tahyul; (6) artistik/bergaya; (7) berwatak lemah sehingga mudah dipengaruhi. Ketujuh karakter ini kemudian ditambahkan oleh Aswandi dengan (1) senang bernostalgia (membanggakan keberhasilan masalalu); (2) cepat marah; (3) tukang lego untuk ditukar dengan uang tunai.
Apa yang dijelaskan Mochtar Lubis tersebut dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Maka pantas jika para pemikir bangsa ini resah dengan kemerosotan kepribadian anak-anak bangsa ini. Perhatikanlah anak bangsa ini, mulai dari rumah, ruang kelas, di jalan raya, bukankah setiap hari dengan tawuran pelajar dan mahasiswa. Semerosot itukah karakter bangsa ini? Bukankah karakter adalah segalanya?

C.      Pembelajaran Menulis sebagai Media Pembentukan Karakter Siswa
Untuk melihat bagaimana peran penting pembelajaran menulis sebagai media pembentukan karakter siswa, akan kita lihat dulu apa dan bagaimana karakter yang ingin di tumbuhkan atau dibentuk.
Dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education). Apa itu Karakter dan Pendidikan Karakter?
Para pegiat pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter dalam gambar berikut.
                                                                             Sumber: www.google.com
Dari gambar tersebut jelas bahwa pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait-mengait, yaitu:
1.      responsibility (tanggung jawab);
2.      respect (rasa hormat);
3.      fairness (keadilan);
4.      courage (keberanian);
5.      honesty (kejujuran);
6.      citizenship (kewarganegaraan);
7.      self-discipline (disiplin diri);
8.      caring (peduli), dan
9.      perseverance (ketekunan).
Dalam gambar tersebut, dijelaskan bahwa nilai-nilai dasar kemanusian yang harus dikembangkan melalui pendidikan bervariasi antara lima sampai sepuluh aspek. Di samping itu, pendidikan karakter memang harus mulai dibangun di rumah (home), dan dikembangkan di lembaga pendidikan sekolah (school), bahkan diterapkan secara nyata di dalam masyarakat (community) dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha dan dunia industri (bussiness).
Selanjutnya, suparlan dalam situsnya menjelaskan sepuluh karakter utama, yatu: Pertama, kebijaksanaan (wisdom); kedua, keadilan (justice) ketiga, ketabahan (fortitude);   keempat, pengendalian diri (self-control); kelima, kasih (love); keenam, sikap positif (positive attitude); ketujuh kerja keras (hard work); kedelapan integritas (integrity); kesembilan adalah syukur (gratitude); kesepuluh, kerendahan hati (humility).
Dari sembilan karakter yang seperti yang dijelaskan diatas dan sepuluh karakter utama yang dijelaskan oleh suparlan tersebut, maka seharusnya setiap guru berpikir dan merecanakan sautu proses pembelajaran yang mengarah pada pembentukan karakter tersebut. Menulis, merupakan sebuah proses kreatif yang dapat merangsang dan mengembangkan sikap-sikap (karakter) seperti yang diharapkan oleh bangsa ini. dengan berlatih menulis, siswa akan berlatih jujur terhadap apa yang ia pikirkan, kemudian ia tuliskan. Dengan berlatih menulis siswa akan berlatih bijak terhadap objek yang ia tulis. Dengan menulis siswa akan belajar bagaimna keadilan, bagaimana ketabahan, pengendalian diri, cinta, sikap positif, kerja keras, integritas syukur dan rendah hati.
Melalui pembelajaran menulis dengan sentuhan yang benar, siswa akan akan terbentuk pola pikirnya, setelah pola pikirnya terbentuk maka pola prilakunya juga akan terbentuk. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Zig Ziglar seperti yang dikutip Aswandi (2010:21), perhatikanlah pikiranmu karena ia akan menjadi kata-katamu. Perhatikanlah kata-katamu karena ia akan menjadi perilakumu. Perhatikanlah perilakumu karena ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikanlah kebiasaan-kebiasanmu karena ia akan menjadi karaktermu. Perhatikanlah karaktermu karena akan menjadi takdirmu.
Maka jelaslah bahwa dengan pembelajaran menulis yang kreatif, enovatif, menantang dan membahagiakan siswa, maka karakter siswa akan terbentuk dan terbangun dengan sendirinya.
D.     Simpulan.
Pembentukan karakter siswa bukanlah suatu hal mudah. Melihat betapa kompleks dan bobroknya permasalahan kemerosotan karakter manusia Indonesia. Oleh karena itu, dibuuhkan upaya dari semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Guru sebagai ujung tombak pembentukan kebudayaan, menduduki peran penting dalam penanaman nilai-nilai luhur dalam kehidupan siswa. Maka, didalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, seyogyanyalah berusaha menanamkan karakter pada siswanya. Salah satu media yang bisa digunakan untuk penanaman karakter tersebut adalah melalui pembelajaran menulis, karena menulis merupakan sebuah proses produktif kreatif yang dimana siswa bertindak jujur, bijaksana, bertanggung jawab dan seterusnya terhadap apa yang ia tulis. Dengan pembelajaran menulis disamping siswa belajar mengemukakan pikrannya melalui tulisan, ia juga belajar bagaimana objektif memandang satu permaslahan, jujur dalam menyikapi permasalahan itu, dan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh hasil kreativitasnya tersebut.
Daftar Pustaka
Aswandi. 2010. “Membangun Bangsa Melalui Pendidikan Berbasis Karakter” Jurna Pendidikan Karakter. Bandung: Asosiasi Sarjana dan Dosen Pendidikan Umum & Nilai Indonesia.
  
Aunurrahman.2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Brown, H. Douglas. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. San Fransisco: San Fransisco State University.








Jay, Thimothy B. 2003. The Psychology of language. Peking: Peking University Press.

Richards, Jack C. dan Theodore S. Rodgers. 2006. Approachs and Methods in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Rusyana, Yus. 1988. Bahasa dan Sastra Dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.

Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung.: Alfabeta

Soedarsono, Soemarno. 2010. Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang. Kompas Gramedia: Jakarta.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.





               




HAKIKAT MENULIS

HAKIKAT MENULIS
Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menurut Rusyana (1988:191) menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan. Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca (Tarigan, 1986:21). Kedua pendapat tersebut sama-sama mengacu kepada menulis sebagai proses melambangkan bunyi-bunyi ujaran berdasarkan aturan-aturan tertentu. Artinya, segala ide, pikiran, dan gagasan yang ada pada penulis disampaikan dengan cara menggunakan lambang-lambang bahasa yang terpola. Melalui lambang-lambang tersebutlah pembaca dapat memahami apa yang dikomunikasikan penulis.
Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa, menulis berkaitan erat dengan aktivitas berpikir. Keduanya saling melengkapi. Costa (1985:103) mengemukakan bahwa menulis dan berpikir merupakan dua kegiatan yang dilakukan secara bersama dan berulang-ulang. Tulisan adalah wadah yang sekaligus merupakan hasil pemikiran. Melalui kegiatan menulis, penulis dapat mengkomunikasikan pikirannya. Dan, melalui kegiatan berpikir, penulis dapat meningkatkan kemampuannya dalam menulis.
Mengemukakan gagasan secara tertulis tidaklah mudah. Di samping dituntut kemampuan berpikir yang memadai, juga dituntut berbagai aspek terkait lainnya. Misalnya penguasaan materi tulisan, pengetahuan bahasa tulis, motivasi yang kuat, dan lain-lain. Paling tidak menurut Harris (1977:68) seorang penulis harus menguasai lima komponen tulisan, yaitu: isi (materi) tulisan, organisasi tulisan, kebahasaan (kaidah bahas tulis), gaya penulisan, dan mekanisme tulisan. Kegagalan dalam salah satu komponen dapat mengakibatkan gangguan dalam menuangkan ide secara tertulis.
Mengacu kepada pemikiran di atas, jelaslah bahwa menulis bukan hanya sekedar menuliskan apa yang diucapkan (membahasatuliskan bahasa lisan), tetapi merupakan suatu kegiatan yang terorganisir sedemikian rupa sehingga terjadi suatu tindak komunikasi (antara penulis dengan pembaca). Bila apa yang dimaksudkan oleh penulis sama dengan yang diamaksudkan oleh pembaca, maka seseorang dapat dikatakan telah terampil menulis.
MENULIS CERITA PENDEK
Siapa yang tidak bangga jika cerpennya dimuat di majalah Kawanku, Gadis, Hai, atau mungkin di surat kabar Kedaulatan Rakyat, Kompas? Kiranya tidak ada yang tidak senang. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh mulai dari diberi ucapan selamat dari teman-temannya, diberi predikat baru sebagai “sastrawan”, mendapat honorarium, dan mungkin guru Bahasa Indonesianya memberikan “bonus” nilai.

Kemampuan menulis karya sastra pada satu sisi diyakini sebagai sebuah bakat yang nota bene dibawa seseorang sejak lahir, namun pada sisi lain diyakini sebagai sebuah hasil belajar. Dari berbagai sharing pengalaman dari orang-orang yang sudah menghasilkan karya sastra, sebagian besar di antaranya mengatakan bahwa kemampuan mereka lebih banyak ditentukan oleh latihan, latihan, dan latihan. Kalau dibuat perbandingan, factor bakat hanya memberikan kontribusi 10-15%, sedangkan selebihnya adalah factor belajar dan latihan. Tuntutan yang diberikan oleh kurikulum untuk siswa SMA sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun, tidak ada salahnya jika kemampuan menulis cerpen yang akan dipelajari ini dapat memberikan bekal hidup di kelak kemudian hari. Artinya, siapa tahu dengan sungguh-sungguh belajar menulis cerpen, ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi, para siswi dapat ”nyambi” mencari uang saku melalui cerpen. Di sela-sela kuliah mereka dapat menghasilkan cerpen yang kemudian dikirim ke media massa, dan kalau dimuat akan mendapat uang saku. Dengan demikian, generasi muda ini tidak seratur persen bergantung pada orangtua mereka. Dengan kemandirian finansial seperti itu proses hidup sebagai ”parasit” bagi orang lain dapat sesegera mungkin diakhiri.

BEBERAPA HAL KUNCI DALAM MENULIS CERPEN
Peristiwa, Tokoh, Konflik
Narasi adalah cerita. Cerita didasarkan pada urutan kejadian atau peristiwa. Dalam kejadian-kejadian tersebut terdapat tokoh. Tokoh-tokoh tersebut menghadapi serangkaian konflik atau pertikaian. Tiga hal tersebutlah (urutan peristiwa, tokoh, dan konflik) yang merupakan unsur pokok sebuh narasi. Kesatuan dari urutan peristiwa, tokoh, dan konflik itulah yang sering disebut alur atau plot. arasi bisa berupa fakta, bisa pula berupa fiksi atau rekaan. Narasi yang berisi fakta antara lain biografi (riwayat hidup seseorang), otobiografi (riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri. Narasi yang berisi fiksi atau rekaan antara lain novel, cerita pendek, cerita bersambung, atau cerita bergambar. Plot atau alur dalam sebua narasi dapat berupa alur tunggal, dapat pula terdiri dari alur utama dan beberapa buah alur tambahan atau sub-plot.
Latar dan Warna
Alur cerita (kejadian, konflik, dan tokoh) tentu saja tidak terjadi dari kekosongan (vacuum). Pasti peristira tersebut terjadi pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Maka alur terikat pada latar waktu dan latar tempat. Latar tempat dan latar waktu membutuhkan kekhususan dan ketajaman deskripsi yang menunjukkan pada pembaca bahwa waktu dan tempat kejadian tersebut benar-bena khas sehingga cerita tidak daat dipindahkan secara sembarangan karena kekhasan tersebut memberikan nilai tertentu. Inilah yang disebut sebagai warna lokal dalam cerita. Warna lokal ini diciptakan dengan memberikan deskripsi yang teliti tentang lokasi, benda-benda, tokoh-tokoh serta kebiasaan-kebiasaan setempat, dialog tokoh-tokohnya yang mengandung dialek-dialek tertentu
Kerangka (Kisi-kisi Alur)
Kerangka atau kisi-kisi alur sangat penting untuk dibuat sebelum kita menulis cerpen. Kisi-kisi alur ini digunakan untk menjaga agar dalam cerita yang akan kita buat tidak terjadi anakronisme, yaitu peristiwa yang salah waktu dan tempatnya. Di samping itu, kisi-kisi ini juga berguna untuk mempertahankan cerita agar dalam pengembangannya cerita tetap terfokus pada konflik yang direncanakan, tidak melantur ke mana-mana. Posisi ”Kita”Dalam sebuah narase tentu saja ada yang bercerita, yang menceritakan kepada kita apa saja yang terjadi. De fakto yang bercerita adalah penulis cerita itu. Penulis cerita dalam bercerita dapat mengambil posisi sebagai orang di luar cerita yang menceritakan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. Atau, bisa pula penulis mengambil posisi seolah-olah ia berada di dalam cerita tersebut. Ia ikut menjadi salahsatu tokoh dalam cerita yang dibuatnya itu.Pengambilan posisi diri ini sangat mempengaruhi cerita yang akan dibuatnya. Maka, diperlukan pertimbangan matang untuk memilih gaya pertama, atau gaya kedua sehingga nantinya terdapat konsistensi dalam bercerita.
Percakapan (Dialog)
Sebenarnya tidak ada aturan baku yang mengatur seberapa besar porsi dialog dalam sebuah cerita. Artinya, boleh saja sebuah cerpen sejak awal sampai akhir isinya dialog antartokoh. Porsi deskripsi latar dan peristiwanya dibuat seminimal mungkin. Namun, boleh juga sebuah cerpen hanya terdiri dari deskripsi semua, tidak ada dialog sama sekali.Hanya, rasa-rasanya akan menjadi cerpen yang tidak enak dibaca ketika tidak terdapat keseimbangan antara dialog dan deskripsi latar.
LATIHAN MENULIS CERPEN
Latihan Menciptakan Tokoh
Saya ingin menciptakan sebuah cerpen yang menggambarkan pertentangan budaya antara budaya Batak, budaya Bali, dan budaya Jawa.
Buatlah nama-nama tokoh (minimal 2 tokoh sentral, ada tokoh andalan, dan ada beberapa tokoh lain) beserta penjelasan mengenai latar belakang kehidupan dan perwatakannya.
Buatlah rencana tempat kejadian dari cerita yang akan Anda buat beserta waktunya!
Buatlah pokok-pokok kejadian yang menggambarkan perkembangan konflik dari cerita yang akan Anda buat!